Ad Code

Politik Luar Negeri Pada Masa Reformasi

Politik Luar Negeri pada masa Reformasi

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Politik Luar Negeri Pada Masa Reformasi”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat kelebihan dan kekurangannya sehingga kami mengharap kritik dan saran yang dapat memperbaiki untuk penulisan makalah selanjutnya.

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Reformasi ekonomi dan politik telah melahirkan tuntutan baru. Masyarakat seolah-olah menginginkan kedaulatan yang seharusnya menjadi menjadi miliknya dikembalikan setelah dipinjam Presiden Soeharto dan aparatnya selama kurun waktu 32 tahun. Selain tuntutan perubahan politik, masyarakat Indonesia merasakan bagaimana krisis ekonomi menjadi parah karena ternyata hampir di seluruh aspek kehidupan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Gema reformasi memang sangat keras karena setelah guncangan moneter yang dimulai dari Thailand Juni 1997 membuat Indonesia harus menghadapi tekanan dalam mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Akhirnya pemerintah tidak sanggup menekan harga dollar sehingga bulan September 1998 dilepas ke pasar yang akhirnya menyebabkan ambruknya ekonomi Indonesia. Harga sembilan bahan pokok sampai sekarang tidak stabil, bahkan cenderung meningkat. Penderitaan rakyat Indonesia ini melahirkan kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi dan kerusuhan yang  akan banyak memakan korban rakyat tak berdosa.
Reformasi berlangsung setelah terjadi stagnan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Politik dalam negeri secara bertahap diambil dari rakyat menuju kekuatan eksekutif yang berpuncak di tangan presiden. Pada akhirnya, seluruh kekuasaan itu berada di tangan Soeharto. Dalam kebijakan luar negeri pun partisipasi rakyat baik melalui DPR  maupun kalangan masyarakat seperti dunia akademis tidak diberi tempat. Pengambilan kebijakan luar negeri menjadi tidak demokratis.

B.     Rumusan Masalah
Penulisan ini menjelaskan keadaan Politik Luar Negeri Indonesia Di Era Reformasi.

BAB II
PEMBAHASAN
Politik luar negeri sebuah negara merupakan perpaduan dan cerminan dari situasi sosial-politik, kondisi ekonomi, dan kapabilitas militer domestik, yang dipengaruhi perkembangan yang terjadi di lingkungan eksternalnya. Politik luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor sejarah dan persepsi elit pembuat keputusan. Implementasi Doktrin Politik Luar Negeri Bebas-Aktif memberikan ruang gerak yang luas bagi diplomasi Indonesia bagi pencapaian kepentingan nasional. Doktrin ini mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang bersahabat dan dapat berperan sebagai bridge builder.[3]
A.     Runtuhnya Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.
Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a)    masa depan Reformasi.
b)    masa depan ABRI.
c)    masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
d)    masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya.
e)    masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
f)    Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
g)    Kebijakan dalam bidang politik Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
h)     Kebijakan dalam bidang ekonomi. Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
i)    Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers. Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
j)    Pelaksanaan Pemilu. Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

B.     Reformasi Domestik
Gagasan reformasi sangat kuat disuarakan mahasiswa pada akhir 1997 dan awal 1998. Setelah selesai Sidang Umum 1998 yang melahirkan pasangan Soeharto-BJ Habibie, gagasan reformasi semakin santer dalam masyarakat akademis. Mahasiswa akhirnya mempelopori untuk menjadi gagasan slogan dalam aksi unjuk rasa pro demokrasi-nya. Pada akhirnya, reformasi diartikan sebagai usaha mendesak Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan pemerintah penggantinya menurunkan harga-harga sembako.
Setelah turun dari jabatan presiden 21 Mei lalu, Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wapres Habibie. Maka lahirlah kabinet reformasi yang sampai sekarang masih dalam tahap transisi menjelang pemilu Mei 1999. Setidaknya ada empat proses yang terjadi sebagai akibat kakunya Orde Baru dalam menghadapi perubahan jaman. Eep Sefullah Fatah, menyebut faktor pertama adalah sentralisasi. Dalam tahap reformasi terjadi lah era desentralisasi. Semula Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas politik agar pertumbuhan ekonomi bisa terkejar. Namun pada prakteknya sentralisasi melahirkan KKN.
Reformasi juga melahirkan corak yang belawanan dengan aliran pemikiran Orde Baru yang menekankan otonomisasi. Apa yang otonomisasi ? Menurut Eep, sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum. Reformasi melahirkan de-otonomisasi dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam keputusan publik.
Orde Baru juga melahirkan unsur ketiga yakni personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasikan  di tangan Soeharto. Apapun keputusan politik harus sesuai dengan “petunjuk bapak presiden”. Begitulah istilah yang sering digunakan menteri dalam menjelaskan kebijakan pemerintah. Reformasi politik menjungkirbalikkan gagasan itu dengan mendorong ke arah de-personalisasi dimana kekuasaan politik itu bukan berasal dan hanya di tangan presiden tapi terutama di tangan rakyat yang bisa disalurkan melalui partai-partai politik.
Selain tiga aspek di atas, Orde Baru juga harus menghadapi kritikan rakyat karena kekuasaan kemudian menjadi sesuatu yang sakral, tak boleh diganggu gugat dan tak terjangkau rakyat bawah. Dalam konteks ini kekuasaan tak bisa salah, bebas dari kritik, tak bisa digugat apalagi dijungkirkan. Namun dengan gelombang reformasi rakyat semakin terbuka bahwa kekuasaan presiden atau jabatan apapun tak lain adalah amanah rakyat, bukan titisan dewa atau dari langit.
C.    Reformasi Masa Pemerintahan
a)     MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini,
Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal. Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur.
Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik.
Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
b)     MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadipower struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia.
Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit.
c)    MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia.  Karena itu, Megawati  mengupayakan sebuah “mekanisme  kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi  amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisisyang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah diambang separatism atau communal violence. Dan pada akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada stabilitas yang lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh lebih membaik dari sebelumnya
d)    MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai opportunities. Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau  gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini). Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
•    terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
•    terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
•    ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
•    TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.
5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di tahun 2008 dan selanjutnya.
Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
D.     Agenda Reformasi
Bagaimana implikasi reformasi politik domestik  terhadap kebijakan luar negeri ? Rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk mendayagunakan kebijakan luar negeri sehingga melahirkan kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat. Secara idiil, tujuan dari politik luar negeri Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Dari empat reformasi yang sudah dilakukan rakyat Indonesia tampaknya bisa ditarik empat agenda dalam reformasi politik luar negeri.
Pertama, perumusan kebijakan dan pelaksanaan politik luar negeri tak lagi tersentralisasi di badan eksekutif atau di tangan presiden. Dengan tema-tema hubungan internasional seperti hak asasi manusia, demokratisasi, lingkungan hidup dan terciptanya masyarakat madani, maka rakyat seluruhnya memiliki akses dalam memberikan pemikiran, menilai dan ikut memikirkan arah kebijakan luar negeri. Soal hak asasi manusia dicatat Budiarto Shambazy sebagai salah satu aspek penting dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Habibie seperti terlihat dalam kebijakan pemberian otonomi lebih luas ke Timor Timur.
Begitu politik luar negeri itu tersentralisasi dalam lembaga eksekutif, maka arahnya tidak bisa dikritik lagi. Misalnya, politik pinjaman dana untuk pembangunan ternyata di kemudian hari memberatkan masyarakat sehingga melahirkan utang pemerintah sekitar 60 milyar dollar AS. Menurut Dr Hasjim Djalal, masalah korupsi dan kolusi yang banyak dibicarakan kalangan domestik dan luar negeri bisa mempengaruhi kredibilitas pemerintah sehingga politik luar negeri bisa kurang efektif.
Kedua, agenda reformasi perlu dilakukan agar politik luar negeri tidak lagi otonom dari perbuahan-perubahan dan tuntutan masyarakat. Meminggirkan masyarakat dalam hal politik luar negeri akan melahirkan langkah yang fatal terhadap kemajuan seluruh bangsa. Penilaian yang meremehkan efek devaluasi Thailand dan peringatan dunia internasional terhadap kebijakan ekonomi luar negeri pemerintah dan swasta mengakibatkan terjadinya prahara moneter yang menyakitkan. Dengan kata lain, keputusan pemerintah tidak otonom tetapi tergantung dari masukan masyarakat. Dr Moh Idris Kesuma melukiskan bahwa politik luar negeri itu tak lain daripada perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang pada awalnya mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan pengakuan internasional.
Ketiga, dalam jangka mendatang tidak perlu lagi keputusan penting dalam menghadapi era globalisasi ini diserahkan ke tangan seorang presiden atau menteri. Karena kebijakan luar negeri pada akhirnya akan berpengaruh terhadap seluruh lapisan masyarakat dari kota sampai desa, maka pengambilan keputusan hanya di tangan satu orang dengan asumsi ia serba tahu tentang politik luar negeri akan berakibat kehilangan kontrol.
Keempat, meskipun orientasi politik luar negeri negeri sudah ditentukan bebas dan aktif serta landasan idiilnya ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, namun dalam implementasinya jangan sampai terjebak pada sakralisasi kebijakan. Politik luar negeri seperti halnya politik dalam negeri bukanlah sesuatu yang sakral, yang suci, yang tak bisa diubah dan dikemas dengan pendekatan baru. Desakralisasi kebijakan eksternal bisa dilakukan jika masyarakat ikut berpartisipasi dalam memikirkan arah bangsa Indonesia dalam memasuki abad ke-21 ini.

BAB III
KESIMPULAN

Abad kemakmuran Asia yang sering didengung-dengungkan ternyata harus mengalami revisi. Kemakmuran itu memerlukan tahap panjang lagi karena penguasaan medan global ternyata telah membuat pembangunan yang ditopang pertumbuhan cepat berakhir dengan kriris moneter. Oleh karena itu diperlukan cara pandang baru dan kajian lebih mendalam apa yang jadi trend internasional sehingga Indonesia sendiri bisa merumuskan kebijakan luar negeri dengan tepat. Di sinilah mahasiswa dan pakar-pakar hubungan internasional bisa memberikan sumbangan besar untuk mereformasi politik luar negeri yang selama ini jarang tersentuh sehingga mengakibatkan terjadinya sakralisasi. Sudah waktunya paradigma berpikir kita terhadap politik luar negeri diubah dengan sudut pandang yang segar dan memberikan harapan baru.
Aspirasi Indonesia untuk me- mainkan peran “pemimpin” tidak pernah pudar karena Indonesia merasa memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki negara lain dan posisi yang cukup strategis baik di kawasan maupun dalam percaturan internasional. Indonesia menunjukkan kinerja positif di sektor politik dan ekonomi domestik dan dalam kiprahnya di panggung global, walaupun dunia internasional ten-gah menghadapi berbagai krisis.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia beberapa pasca Orde Baru ini dilingkupi oleh pemikiran Konstruktivisme, yaitu aspirasi mengubah lawan menjadi kawan, dan kawan menjadi mitra melalui peran sebagai bridge builder. Untuk ke depan, politik luar negeri Indonesia akan semakin aktif dan asertif. Kinerja positif di atas menjadi modal berharga untuk mengimplementasikan aspirasi untuk memainkan peran “pemimpin” tersebut.
Namun demikian untuk dapat memainkan peran itu, situasi domestik perlu terus dijaga, sehingga kredensial Indonesia di mata Internasional tetap positif. Selain itu aspirasi untuk menjadi “bridge builder” ini perlu dilakukan secara cermat. Indonesia perlu memfokuskan perannya pada isu/sektor-sektor tertentu saja dimana Indonesia memiliki kapasitas yang memadai, dan menghindari godaan untuk terlibat terlalu dalam pada terlalu banyak isu internasional sehingga mengalami over-reach.

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu